Hari ke-entah bekerja di salah satu warnet milik bosnya, Sholihin masih sangat semangat mengerjakan segala sesuatunya. Sebenarnya sangat gampang pekerjaannya. Hanya tinggal menunggu suara ‘kring…’ lalu dia mengecek berapa biayanya di billing warnet, dan selama bunyi kring itu tak terdengar. Dia tinggal online sepuasnya atau main game sampai berlevel-level. Tapi yang sangat menjengkelkan bagi Sholihin adalah para pengunjung. Sholihin harus ekstra menghadapi mereka yang beraneka ragam sifat dan karakter
“Mas, kok komputernya nggak nyala?” teriak seorang lelaki yang sedikit tua dari balik bilik warnet itu.
Mendengar teriakan itu, Sholihin langsung bangkit dari tempat duduknya, menghentikan segala aktivitas mayanya sejenak. Kesal, sekaligus agak deg-degan takut komputernya rusak atau terbakar menyala-nyala. Ah tidak mungkin. Pikirnya dalam hati.
“Masak sih nggak bisa nyala?” tutur Sholihin basa-basi.
“Iya mas, tombol powernya sudah tak pencet. Tapi kok monitornya nggak nyala-nyala ya? Aneh.” Kata lelaki sedikit tua itu menjelaskan.
Sholihin mulai meraba-raba, mengencangkan kabel-kabelnya dan segala basa-basi lainnya. Begitu dia menekan tombol minitor bagian bawah, langsung menyala. Pengen tertawa, kasian sekaligus gedeg dengan lelaki sedikit tua itu.
“Jelas nggak bisa nyala lah pak, orang monitornya belum dinyalain, haddeeeh. Capcus deh… eh salah capek deeeh. Bapak ini gimana sih?”
“Ouh, masak sih mas? Maaf deh kalo gitu.” Lelaki itu hanya nyengir.
“Makanya Pak, jangan asal panggil-panggil gue. Nyalain dulu, kalo tidak bisa nyala, baru panggil gue. Kan kalo gini gue yang kesel sendiri bukan Bapaknya.” Sholihin menumpahkan segala isi hatinya ke lelaki itu. Curcol? Bukan.
“Iya… iya gue kan nggak tahu, kenapa loe malah sewot sama gue?” kata-kata lelaki itu mendadak loe gue. Dongkol mungkin. Sangat. “Itukan memang sudah tugas loe”
“Ah sudahlah Pak, lupakan. Mending bapak langsung main saja, daripada mulut bapak bulukan ngomoong sama gue. Gue mau update status dulu. Jangan lupa Pak, baca Bismillah” Sholihin meninggalkan lelaki itu, yang keheranan dengan tingkah aneh Sholihin yang tak terduga.
“Menurut loe? Emang harus lapor sama gue dulu, kalo mau update status? What-eveeer” lelaki itu kesal sendiri. Lalu mulai berinternet ria, entah situs apa yang dibuka. Hanya Bapaknya dan Tuhan lah yang tahu. Mungkin situs-situs……
Pengunjung di warnet saat ini masih sepi. Pengunjungnya, hanya bapak-bapak itu dan sepasang kekasih di pojokan. Sholihin selalu geli sendiri, kalo ada sepasang kekasih nongkrong di warnet, milih yang paling pojok. Padahal banyak bilik yang kosong disana-sini. Entahlah maksud mereka itu apa. Sholihin pernah memergoki sepasang kekasih sedang ciuman. Bibir mereka menempel. Adegan romantis, tapi di sini bukan tempatnya wooooy.
“Ah jadi pengeeeen, mauuuuuu…” teriakan jahatnya mulai membahana. Dalam hati, tak mungkin terjadi.
Kalo suasana hening nan sepi begini mengingatkan Sholihin pada awal-awal masuk kerja. Sebelum bekerja di warnet ini sebagai operator, Sholihin sudah menyebar lamaran kemana-mana. Termasuk Ratih, Kembang Desa deket rumahnya. Lhoh? Bukan-bukan, tak termasuk itu. Walau surat lamaran yang tersebar, tak ada satupun yang menghubungi Sholihin. Iya sih menyebar lamaran banyak, tapi masak iya sih ngelamar pekerjaan di perusahaan yang hampir bangkrut. Jelas, ini akan memusingkan si empunya perusahaan gulung tikar saja. Sholihin hanya dicaplok oleh cacian pedas, bukan pekerjaan.
Lagi, melamar di perusahaan yang membutuhkan lulusan S1, tapi Sholihin menaruh surat lamaran dengan sangat percaya diri tanpa curiga. Padahal dia hanya lulusan SMA. Alhasil, hanya pecahan-pecahan umpatan saja mendarat dengan tepat. keluar dari mulut lebar mereka. Menyeramkan.
Kenapa sih enggak ada yang mau nerima gue kerja. Merasa hina diri gue. Ah mereka saja yang tak mau memberi gue kesempatan. Padahal kan, gue bisa bersaing dengan lulusan S1.
Ya, dia bisa bekerja di tempat sekarang ini adalah sebuah kenikmatan yang sangat dahsyat dari Sang Maha Adil.
“Makasih ya mas, sudah mau nerima gue kerja di sini.” Sholihin sumringah, berterimakasih pada pemilik warnet. “Gue enggak tahu harus ngomong apa sama Mas. Setelah nyebar lamaran nggak ada panggilan satu pun. Hidup gue bahagia” Sholihin mendadak cerewet, tanpa memberi kesempatan Pemilik warnet untuk membalas omongannya. Wajahnya sudah terlihat gedeg, pengen nabok hidung Sholihin yang kembang-kempis.
“Diaaaaaam. Kalo loe ngomong terus, kapan giliran gue? Gue juga ada bakat jadi penyiar radio kayak loe?” dia ngomong ngaco. Tak tau arah.
“Hah?” Sholihin bengong. “Kenapa ngomongin penyiar radio?”
“Ok lah lupakan. Itu bakat gue yang terpendam sih,”
“Whateveeer…” sholihin kesal “jadi gue jadi diterima kerja kan?”
“jelas lah, loe gue terima di tempat gue. Terpaksa sih, karena gue lagi butuh banget.”
“Hah? Terpaksa gimana maksudnya?”
“Iyalah, gue lagi banget butuh banget pekerja. Dan loe juga satu-satunya yang ngelamar di sini.”
“Ya ampun miris banget hidup gue. Jadi Cuma gua yang melamar kerja di sini? Ah tapi nggak apalah, yang penting dapet kerjaan.”
Kadang Sholihin merasa iri dengan teman-temannya yang sudah sukses di luaran sana. Bisa bekerja dengan gaji yang lumayan tinggi, ataupun kuliah di PTN favorit bahkan ada yang sudah buka usaha sendiri. Wuih kereeeen. Lalu aku apa?
Tapi selalu bersyukur, walau mendapat pekerjaan yang bukan impiannya. Dia mencoba ikhlas, dia masih bisa bahagia karena diberikan kesehatan yang mahal harganya.
“Mas… mas… mas… wooooy” teriakan mbak-mbak cantik itu memenuhi seluruh kuping Sholihin. Membuatnya langsung terbangun dari segala lamunannya.
“I..i.i ya mau pesan apa mbak? Spageti atau stick?” tanya Sholihin ngaco. Mungkin karena dia ingin bekerja jadi waiter di restoran ternama tak kesampaian, ngigaunya jadi begini.
“Wooy mas, mau kerja apa mau ngelamun terus? Emang di sini warung makan apa? Yang ada makan keyboard sama mouse. Mau?” kata mbak-mbak cantik itu kesal dengan sikap Sholihin yang kelewat normal.
“Maaf Mbak, pikiran gue lagi kemana-mana. Lagi menelusuri masa lalu yang kelam.”
“Ciyus? Kasian banget sih, semoga arwahnya tidak penasaran?”
“Woy, jadi loe ngedoain gue cepet mati? Gila lu ndrooo…”
“Ya enggak lah keles. Sudah cukup.”
“Mau apa ke sini?” tanya Sholihin judes
“Judes banget nanyanya? Nggak liat gua cantik apa?” kata mbak itu merayu
“Oh ya cantik bangeeet, boleh minta nomernya?” Sholihin menggoda.
Mbak-mbak cantik itu sering mampir ke warnet itu. Jadi dia sudah merasa akrab saja, entah dengan si mbak cantik itu.
“0274-895xxxx”
“Nomer telpon? Mbaknya mau ngefax? Tanya Sholihin polos. Dia kecewa karena tak mendapatkan nomornya.
“Iyalah, masak mau berenang? Emang di sini ada kolam renang? Yang ada tuh banjir, para kodok lagi berenang. Yang jelas gue nggak akan ngasih nomer hpku ke lo lah. Ganteng aja nggak, sama tukul arwana saja masih jelekkan lo…”
“Jleb. Mbaknya jahat, bukannya jelek. Aaron ashab si aktor yang sering nongol di youtube, ngerebut bentuk wajah gue pas dulu ada pembagian wajah. Aku tak berdaya, jadinya dapet yang jelek begini deh.” Sholihin berkilah
“Aaron ashab yang bule arab itu kan? Dia baik tahu….”
“Baik apanya? Gue mention berkali-kali minta difolback aja nggak pernah digubris. Gue kan capek ngetiknya.”
“Hahahaha, dia baik keleees, dia sudah balen mention gue, folback gue. Kurang apa coba? Dia nggak ngurusin loe, dia geli keles sama loe.”
“Geli kenapa? Gue kan ashabat juga. Gue kan suka cover-coverannya di youtube. Ok semua. Kurang apa coba?” Sholihin membela diri
“Ah nggak tahu deh, itu derita lo aja keles. Yang sabar aja ya ….”
“Huh, sudahlah pembicaran kita sudah terlalu jauh. Nanti lo jatuh cinta lagi sama gue. Ngeeeek…”
“Amit-amiiiiiiiit” kata Mbaknya menirukan gaya Anggun saat memanggil Fatin atau Mikha di acara X-Factor Indonesia.
“Sudahlah, mana kertasnya yang mau di-fax? Jangan banyak-banyak. Biar guenya nggak capek.”
“Nih, satu doank.” Kata mbaknya yang tak diketahui namanya itu, sembari menyerahkan selembar kertas yang akan di-fax.
Sholihin pun menekan tomor tujuan dengan tenang. Kertas pun masuk ke dalam mesin Fax. Lalu fax pun bisa terkirim. Dan laporan telah tercetak. Suara mesin Fax-nya bisa membuat telinga geli. Maklum, mesin tua yang masih dilestarikan.
Sholihin mulai mencoret-coret nota. Menyiapkan uang kembalian untuk si mbak. Begitu Sholihin akan meyerahkan uang itu. Si Mbak tadi sudah tak berada dihadapannya lagi. Menghilang. Mendadak. Membuat bulu kuduk Sholihin berdiri. Suasana berubah menyeramkan di warnet itu, mungkin hanya Sholihin yang bisa merasakannya.
“Masak kalo dia hantu, nongolnya sore hari? Ah nggak mungkin. Tapi.... serem juga. Hih” Sholihin menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sholihin pun keluar, tengok kanan, tengok kiri. Matanya jelalatan mencari mbak cantik itu. Benar, akhirnya mbak itu terekam juga oleh matanya. Dia sudah cukup jauh, dari tempat Sholihin berdiri saat ini. Matanya langsung membelalak. Sholihin teriak-teriak sekeras mungkin. Bahkan orang-orang sekitar sampai memandanginya dengan wajah ‘mengapa’ penuh tanya.
Sholihin langsung mengejar, sambil berteriak memanggil-manggil. Mungkin yang Sholihin lakukan akan sia-sia saja. Jaraknya sudah cukup jauh, ditambah dia memakai helm, pasti tak akan mendengar. Ya karena Sholohin baik hati ingin mengembalikan uang itu, saking baiknya melakukan hal bodoh. Tak peduli adegan menegangkannya namun konyol dilihat banyak orang. Seperti di film-film, bukan bukan persis.
“Gue berlari sudah cukup jauh, tapi percuma saja dia nggak denger.” Kata Sholihin mulai menyerah.
Sholihin mulai panik begitu melihat di sekelilignya. Tempat ini begitu asing.
“Gue nggak kenal sama tempat ini. Pulangnya gimana?” Sholihin semakin panik. “Astagfirullah... lupa warnetnya tak tinggal begitu saja. Aduh gimana nih?”
Seingat Sholihin, dia hanya berlari lurus tak berbelok. Kemudian dia pun berbalik arah. Lari sekencang-kencangnya. Jantung ini berdegup begitu kencang. Dia takut dimarahin Bos, melihat Sholihin tak ada di kursinya. Benar, ketakutannya menjadi kenyataan. Si bos sudah berdiri tepat di depan pintu, sambil menyilangkan tangannya di dada. Menyeramkan.
“Eh si bos, kenapa ada di sini, nggak masuk kedalem?” Sholihin nyengir kuda.
Bosnya semakin menatap tajam. Sholihin tidak melawan tatapan tajam itu.
“Kok diam saja Bos? Lagi sakit gigi ya atau sudah nggak punya gigi lagi jadi sulit ngomong?”
Amarah Si tak terbendung lagi. Meledak-ledak, sampai beberapa orang lagi-lagi menontonnya saja.
“Silakan loe keluar dari sini. Loe, gue pecat sejak detik ini. Dan loe nggak boleh nginjek tempat ini lagi.”
“Tapi Bos, biar gue jelasin dulu kenapa gue ninggalin warnet ini begitu saja.” Wajah Sholihin memelas, membela diri. Namun si Bos tak memberi kesempatan Sholihin ngomong. Itu yang membuat Sholihin kesal.
“Ya sudah kalo Bos nggak mau denger penjelasan gue. Biar gue keluar saja dari sini. Dan setelah ini nggak ada lagi teman curhat buat loe. Kan gue satu-satunya teman curhat loe Bos. Dan akhirnya Goodbye....” walaupun berat, tapi Sholihin rela melakukan ini. Bosnya tak bisa diajak kompromi. Terlalu egois dan keras kepala.
Wajah si Bos mendadak panik dan menyesal mengeluarkan kata-kata kasar itu di hadapan Sholihin.
“Oh ya curhatan gue kemarin kan masih ada beberapa episode lagi. Terus kalo bukan dia siapa lagi, siapa the next teman curhat gue? Nggak bakalan ada. Woy ... Shoh, gue nggak jadi pecat loe, maafin gue ...” teriak Si Bos memanggil Sholihin. Namun Sholihin tak menggubrisnya lagi.