Selasa, 21 Oktober 2014

Kontes Video Selfie

Guys cuma mau bilang sih, bantu view videoku ini ya, sedang saya ikutkan #KontesVideoSelfie di twitter @DINOMARKET nah pemenangnya itu berdasarkan viewer youtube paling banyak.

nah maka dari itu, mohon bantuannya untuk video keceku ini ya ...

Makasih :)



Sabtu, 12 April 2014

Tukang Online Tak Berarti Cemen


Hari ke-entah bekerja di salah satu warnet milik bosnya, Sholihin masih sangat semangat mengerjakan segala sesuatunya. Sebenarnya sangat gampang pekerjaannya. Hanya tinggal menunggu suara ‘kring…’ lalu dia mengecek berapa biayanya di billing warnet, dan selama bunyi kring itu tak terdengar. Dia tinggal online sepuasnya atau main game sampai berlevel-level. Tapi yang sangat menjengkelkan bagi Sholihin adalah para pengunjung. Sholihin harus ekstra menghadapi mereka yang beraneka ragam sifat dan karakter

“Mas, kok komputernya nggak nyala?” teriak seorang lelaki yang sedikit tua dari balik bilik warnet itu.

Mendengar teriakan itu, Sholihin langsung bangkit dari tempat duduknya, menghentikan segala aktivitas mayanya sejenak. Kesal, sekaligus agak deg-degan takut komputernya rusak atau terbakar menyala-nyala. Ah tidak mungkin. Pikirnya dalam hati.

“Masak sih nggak bisa nyala?” tutur Sholihin basa-basi.

“Iya mas, tombol powernya sudah tak pencet. Tapi kok monitornya nggak nyala-nyala ya? Aneh.” Kata lelaki sedikit tua itu menjelaskan.

Sholihin mulai meraba-raba, mengencangkan kabel-kabelnya dan segala basa-basi lainnya. Begitu dia menekan tombol minitor bagian bawah, langsung menyala. Pengen tertawa, kasian sekaligus gedeg dengan lelaki sedikit tua itu.

“Jelas nggak bisa nyala lah pak, orang monitornya belum dinyalain, haddeeeh. Capcus deh… eh salah capek deeeh. Bapak ini gimana sih?”

“Ouh, masak sih mas? Maaf deh kalo gitu.” Lelaki itu hanya nyengir.

“Makanya Pak, jangan asal panggil-panggil gue. Nyalain dulu, kalo tidak bisa nyala, baru panggil gue. Kan kalo gini gue yang kesel sendiri bukan Bapaknya.” Sholihin menumpahkan segala isi hatinya ke lelaki itu. Curcol? Bukan.

“Iya… iya gue kan nggak tahu, kenapa loe malah sewot sama gue?” kata-kata lelaki itu mendadak loe gue. Dongkol mungkin. Sangat. “Itukan memang sudah tugas loe”

“Ah sudahlah Pak, lupakan. Mending bapak langsung main saja, daripada mulut bapak bulukan ngomoong sama gue. Gue mau update status dulu. Jangan lupa Pak, baca Bismillah” Sholihin meninggalkan lelaki itu, yang keheranan dengan tingkah aneh Sholihin yang tak terduga.

“Menurut loe? Emang harus lapor sama gue dulu, kalo mau update status? What-eveeer” lelaki itu kesal sendiri. Lalu mulai berinternet ria, entah situs apa yang dibuka. Hanya Bapaknya dan Tuhan lah yang tahu. Mungkin situs-situs……

Pengunjung di warnet saat ini masih sepi. Pengunjungnya, hanya bapak-bapak itu dan sepasang kekasih di pojokan. Sholihin selalu geli sendiri, kalo ada sepasang kekasih nongkrong di warnet, milih yang paling pojok. Padahal banyak bilik yang kosong disana-sini. Entahlah maksud mereka itu apa. Sholihin pernah memergoki sepasang kekasih sedang ciuman. Bibir mereka menempel. Adegan romantis, tapi di sini bukan tempatnya wooooy.

“Ah jadi pengeeeen, mauuuuuu…” teriakan jahatnya mulai membahana. Dalam hati, tak mungkin terjadi.

Kalo suasana hening nan sepi begini mengingatkan Sholihin pada awal-awal masuk kerja. Sebelum bekerja di warnet ini sebagai operator, Sholihin sudah menyebar lamaran kemana-mana. Termasuk Ratih, Kembang Desa deket rumahnya. Lhoh? Bukan-bukan, tak termasuk itu. Walau surat lamaran yang tersebar, tak ada satupun yang menghubungi Sholihin. Iya sih menyebar lamaran banyak, tapi masak iya sih ngelamar pekerjaan di perusahaan yang hampir bangkrut. Jelas, ini akan memusingkan si empunya perusahaan gulung tikar saja. Sholihin hanya dicaplok oleh cacian pedas, bukan pekerjaan.

Lagi, melamar di perusahaan yang membutuhkan lulusan S1, tapi Sholihin menaruh surat lamaran dengan sangat percaya diri tanpa curiga. Padahal dia hanya lulusan SMA. Alhasil, hanya pecahan-pecahan umpatan saja mendarat dengan tepat. keluar dari mulut lebar mereka. Menyeramkan.

Kenapa sih enggak ada yang mau nerima gue kerja. Merasa hina diri gue. Ah mereka saja yang tak mau memberi gue kesempatan. Padahal kan, gue bisa bersaing dengan lulusan S1.

Ya, dia bisa bekerja di tempat sekarang ini adalah sebuah kenikmatan yang sangat dahsyat dari Sang Maha Adil.

“Makasih ya mas, sudah mau nerima gue kerja di sini.” Sholihin sumringah, berterimakasih pada pemilik warnet. “Gue enggak tahu harus ngomong apa sama Mas. Setelah nyebar lamaran nggak ada panggilan satu pun. Hidup gue bahagia” Sholihin mendadak cerewet, tanpa memberi kesempatan Pemilik warnet untuk membalas omongannya. Wajahnya sudah terlihat gedeg, pengen nabok hidung Sholihin yang kembang-kempis. 

“Diaaaaaam. Kalo loe ngomong terus, kapan giliran gue? Gue juga ada bakat jadi penyiar radio kayak loe?” dia ngomong ngaco. Tak tau arah.

“Hah?” Sholihin bengong. “Kenapa ngomongin penyiar radio?”

“Ok lah lupakan. Itu bakat gue yang terpendam sih,”

“Whateveeer…” sholihin kesal “jadi gue jadi diterima kerja kan?”

“jelas lah, loe gue terima di tempat gue. Terpaksa sih, karena gue lagi butuh banget.”

“Hah? Terpaksa gimana maksudnya?”

“Iyalah, gue lagi banget butuh banget pekerja. Dan loe juga satu-satunya yang ngelamar di sini.”

“Ya ampun miris banget hidup gue. Jadi Cuma gua yang melamar kerja di sini? Ah tapi nggak apalah, yang penting dapet kerjaan.”

Kadang Sholihin merasa iri dengan teman-temannya yang sudah sukses di luaran sana. Bisa bekerja dengan gaji yang lumayan tinggi, ataupun kuliah di PTN favorit bahkan ada yang sudah buka usaha sendiri. Wuih kereeeen. Lalu aku apa?

Tapi selalu bersyukur, walau mendapat pekerjaan yang bukan impiannya. Dia mencoba ikhlas, dia masih bisa bahagia karena diberikan kesehatan yang mahal harganya.

“Mas… mas… mas… wooooy” teriakan mbak-mbak cantik itu memenuhi seluruh kuping Sholihin. Membuatnya langsung terbangun dari segala lamunannya.

“I..i.i ya mau pesan apa mbak? Spageti atau stick?” tanya Sholihin ngaco. Mungkin karena dia ingin bekerja jadi waiter di restoran ternama tak kesampaian, ngigaunya jadi begini.

“Wooy mas, mau kerja apa mau ngelamun terus? Emang di sini warung makan apa? Yang ada makan keyboard sama mouse. Mau?” kata mbak-mbak cantik itu kesal dengan sikap Sholihin yang kelewat normal.

“Maaf Mbak, pikiran gue lagi kemana-mana. Lagi menelusuri masa lalu yang kelam.”

“Ciyus? Kasian banget sih, semoga arwahnya tidak penasaran?”

“Woy, jadi loe ngedoain gue cepet mati? Gila lu ndrooo…”

“Ya enggak lah keles. Sudah cukup.”

“Mau apa ke sini?” tanya Sholihin judes

“Judes banget nanyanya? Nggak liat gua cantik apa?” kata mbak itu merayu

“Oh ya cantik bangeeet, boleh minta nomernya?” Sholihin menggoda.

Mbak-mbak cantik itu sering mampir ke warnet itu. Jadi dia sudah merasa akrab saja, entah dengan si mbak cantik itu.

“0274-895xxxx”

“Nomer telpon? Mbaknya mau ngefax? Tanya Sholihin polos. Dia kecewa karena tak mendapatkan nomornya.

“Iyalah, masak mau berenang? Emang di sini ada kolam renang? Yang ada tuh banjir, para kodok lagi berenang. Yang jelas gue nggak akan ngasih nomer hpku ke lo lah. Ganteng aja nggak, sama tukul arwana saja masih jelekkan lo…”

“Jleb. Mbaknya jahat, bukannya jelek. Aaron ashab si aktor yang sering nongol di youtube, ngerebut bentuk wajah gue pas dulu ada pembagian wajah. Aku tak berdaya, jadinya dapet yang jelek begini deh.” Sholihin berkilah

“Aaron ashab yang bule arab itu kan? Dia baik tahu….”

“Baik apanya? Gue mention berkali-kali minta difolback aja nggak pernah digubris. Gue kan capek ngetiknya.”

“Hahahaha, dia baik keleees, dia sudah balen mention gue, folback gue. Kurang apa coba? Dia nggak ngurusin loe, dia geli keles sama loe.”

“Geli kenapa? Gue kan ashabat juga. Gue kan suka cover-coverannya di youtube. Ok semua. Kurang apa coba?” Sholihin membela diri

“Ah nggak tahu deh, itu derita lo aja keles. Yang sabar aja ya ….”

“Huh, sudahlah pembicaran kita sudah terlalu jauh. Nanti lo jatuh cinta lagi sama gue. Ngeeeek…”

“Amit-amiiiiiiiit” kata Mbaknya menirukan gaya Anggun saat memanggil Fatin atau Mikha di acara X-Factor Indonesia.

“Sudahlah, mana kertasnya yang mau di-fax? Jangan banyak-banyak. Biar guenya nggak capek.”

“Nih, satu doank.” Kata mbaknya yang tak diketahui namanya itu, sembari menyerahkan selembar kertas yang akan di-fax.

Sholihin pun menekan tomor tujuan dengan tenang. Kertas pun masuk ke dalam mesin Fax. Lalu fax pun bisa terkirim. Dan laporan telah tercetak. Suara mesin Fax-nya bisa membuat telinga geli. Maklum, mesin tua yang masih dilestarikan.

Sholihin mulai mencoret-coret nota. Menyiapkan uang kembalian untuk si mbak. Begitu Sholihin akan meyerahkan uang itu. Si Mbak tadi sudah tak berada dihadapannya lagi. Menghilang. Mendadak. Membuat bulu kuduk Sholihin berdiri. Suasana berubah menyeramkan di warnet itu, mungkin hanya Sholihin yang bisa merasakannya.

“Masak kalo dia hantu, nongolnya sore hari? Ah nggak mungkin. Tapi.... serem juga. Hih” Sholihin menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sholihin pun keluar, tengok kanan, tengok kiri. Matanya jelalatan mencari mbak cantik itu. Benar, akhirnya mbak itu terekam juga oleh matanya. Dia sudah cukup jauh, dari tempat Sholihin berdiri saat ini. Matanya langsung membelalak. Sholihin teriak-teriak sekeras mungkin. Bahkan orang-orang sekitar sampai memandanginya dengan wajah ‘mengapa’ penuh tanya.

Sholihin langsung mengejar, sambil berteriak memanggil-manggil. Mungkin yang Sholihin lakukan akan sia-sia saja. Jaraknya sudah cukup jauh, ditambah dia memakai helm, pasti tak akan mendengar. Ya karena Sholohin baik hati ingin mengembalikan uang itu, saking baiknya melakukan hal bodoh. Tak peduli adegan menegangkannya namun konyol dilihat banyak orang. Seperti di film-film, bukan bukan persis.

“Gue berlari sudah cukup jauh, tapi percuma saja dia nggak denger.” Kata Sholihin mulai menyerah.

Sholihin mulai panik begitu melihat di sekelilignya. Tempat ini begitu asing.

“Gue nggak kenal sama tempat ini. Pulangnya gimana?” Sholihin semakin panik. “Astagfirullah... lupa warnetnya tak tinggal begitu saja. Aduh gimana nih?”

Seingat Sholihin, dia hanya berlari lurus tak berbelok. Kemudian dia pun berbalik arah. Lari sekencang-kencangnya. Jantung ini berdegup begitu kencang. Dia takut dimarahin Bos, melihat Sholihin tak ada di kursinya. Benar, ketakutannya menjadi kenyataan. Si bos sudah berdiri tepat di depan pintu, sambil menyilangkan tangannya di dada. Menyeramkan.

“Eh si bos, kenapa ada di sini, nggak masuk kedalem?” Sholihin nyengir kuda.

Bosnya semakin menatap tajam. Sholihin tidak melawan tatapan tajam itu.

“Kok diam saja Bos? Lagi sakit gigi ya atau sudah nggak punya gigi lagi jadi sulit ngomong?”

Amarah Si tak terbendung lagi. Meledak-ledak, sampai beberapa orang lagi-lagi menontonnya saja.

“Silakan loe keluar dari sini. Loe, gue pecat sejak detik ini. Dan loe nggak boleh nginjek tempat ini lagi.”

“Tapi Bos, biar gue jelasin dulu kenapa gue ninggalin warnet ini begitu saja.” Wajah Sholihin memelas, membela diri. Namun si Bos tak memberi kesempatan Sholihin ngomong. Itu yang membuat Sholihin kesal.

“Ya sudah kalo Bos nggak mau denger penjelasan gue. Biar gue keluar saja dari sini. Dan setelah ini nggak ada lagi teman curhat buat loe. Kan gue satu-satunya teman curhat loe Bos. Dan akhirnya Goodbye....” walaupun berat, tapi Sholihin rela melakukan ini. Bosnya tak bisa diajak kompromi. Terlalu egois dan keras kepala.

Wajah si Bos mendadak panik dan menyesal mengeluarkan kata-kata kasar itu di hadapan Sholihin.

“Oh ya curhatan gue kemarin kan masih ada beberapa episode lagi. Terus kalo bukan dia siapa lagi, siapa the next teman curhat gue? Nggak bakalan ada. Woy ... Shoh, gue nggak jadi pecat loe, maafin gue ...” teriak Si Bos memanggil Sholihin. Namun Sholihin tak menggubrisnya lagi. 





Senin, 31 Maret 2014

Vespa Rasa


sumber gambar : ridoarbain

Di suatu sore yang tenang. Mengakrabkan jiwa yang merindukan kasih sayang. Geisha datang dengan raut wajah yang biasa-biasa saja. Menemui Momo yang tela lama menunggu.

“Akhirnya kau datang menemuiku,” ucap Momo bahagia
“Ada apa kita janjian di sini?” jawabnya mulai menggelisahkan
“Kita kan mau jalan-jalan ke suatu tempat”
“Naik apa?”
“Emm... jalan kaki” Momo mengucap datar
“Terus ini vespa milik siapa? Kenapa nggak pake ini saja. Kan lebih seru.” Geisha mengerucutkan bibirnya
“Emm... ini aku dititipin. Tadi orangnya lagi pergi bentar. Dia juga ninggalin ini surat, tapi aku tak berani membukanya” kata Momo seraya menyerahkan amplop pink yang berisi surat
“Coba aku lihat” Geisha merebutnya sedikit kasar.

Momo terkejut.

Perlahan Geisha membuka amplop surat itu. Membacanya pelan-pelan. Air matanya tiba-tiba menetes. Ia terharu membaca surat itu, lalu memeluk Momo erat-erat.
“Surprise...!!” teriak Momo bahagia.
“Jadi vespa ini benar-benar untukku? Vespa yang selama ini aku idam-idamkan.”
“Ya ini untukmu. Selamat ulang tahun ya sayang, semoga vespa ini bisa membuatmu senang” Momo tersenyum

Pelukan itu terlepas.

“Makasih ya sayang, atas kejutan ini. Kau memang pacarku yang paling spesial. Dengan vespa ini kita bisa jalan-jalan romantis. Dan aku suka”
“Ah kau.... membuat kepalaku besar saja. Hehehe”

Vespa mereka pun melaju ke suatu tempat. Ah, hari yang indah.

*203 kata
*ditulis untuk #BdayGway oleh @ridoarbain @momo_DM @danissyamra

Minggu, 30 Maret 2014

Surat Untuk Sapta

Hai cantik, apa kabarmu di sana. aku di sini baik-baik saja. beberapa bulan kita berpisah, karena kesibukan masing-masing. kau pun kini berada di tempat jauh. lebih jauh dari sebelumnya. suatu tempat yang belum pernah aku singgahi. bahkan aku tak pernah berfikir sebelumnya, bahwa kau akan menjejakkan kakimu di sana.

tahukah dirimu cantik, bahwa aku sangat merindukan semua tentangmu. tentang kisah-kisah cintamu, yang aku yakin akan tetap abadi dan sejati, walau ada konflik yang bermunculan. aku kangen dengan segala kelebaianmu, yang kadang membuatku ilfeel, namun sesuatu itu bisa membuatku kangen, seperti halnya sekarang. saat aku menuliskan ini.

aku tak tahu, kenapa sekarang kau jarang menunjukan dirimu di medsos, atau tidak nomormu muncul di layar HPku. aku tak tahu kesibukan apa yang membuatmu lupa seperti itu.

aku hanya merindukanmu dengan sebenar-benarnya.


Minggu, 16 Maret 2014

Paris, Coklat dan Cinta


Aku menginjakkan kaki di kota paris ini bukanlah tanpa alasan, ataupun hanya ingin menghambur-hamburkan uang saja. Walau semua tahu aku adalah Silma, anak orang kaya. Tapi aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku ke Paris hendak mengunjungi acara besar. Aku ingin menghadiri Salon du Chocolat.. Aku tahu Paris terkenal dengan Fashionnya yang selalu menarik. Di eveny itu mereka membuat pakaian yang terbuat dari coklat. Ah, itu sangat menarik hati. Biasanya coklat-coklat itu dengan lahap ku makan. Tapi kini coklat bisa indah membaluti pakaian para model yang berjalan di atas catwalk

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku perlahan. Aku menoleh. Kaget. Karena penepuk bahuku ada Rico, lelaki yang pernah singgah di hatiku. Kini pun masih, walau dia bukan milikku lagi. Mungkin dia telah menemukan pendamping barunya di kota penuh cinta ini.

“Hai Sil, Apa kabar?” tanyanya

“Aku baik Rik. Kamu apa kabar?” tanyaku

“Ya, seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja. Emm... jauh-jauh dari jakarta kamu hanya ingin lihat Festival ini saja?”

“Ya. Tahu sendiri kan, kalo aku penggemar coklat sejak lama.” Ucapku.

Bukan Cuma itu saja Rik, aku ingin melihat wajahmu lebih lama di sini. Akankah kau kembali merajut kisah cinta padaku? Akankah?



Kue Dan Persahabatan


Baru beberapa hari saja, sudah menggoreskan rasa galau di setiap hari-harinya. Sevy, siswi SMA kelas 3 ini, tengah rehat dari rutinitasnya yaitu belajar. Kini ia masih menunggu pengumumuman kelululusan yang masih beberapa minggu lagi. Penantian yang panjang. Selama waktu menunggu, ia habiskan hari-harinya di rumah. Membantu Ibu, apa saja yang ia bisa, yang penting bisa meringankan pekerjaan Ibu di dapur. Sebenarnya ia tengah merindukan teman-temannya di sekolah. Hana, Danil, Najwa, Reza. Canda tawanya, ngobrol bareng juga kegiatan-kegiatan menyenangkan lainnya. Beberapa waktu yang lalu mereka merencanakan sebuah acara membuat kue, tapi rencana itu hanya terucap saja tak pernah dipraktekkan.

Sevy pun akhirnya membangkitkan dan ingin kembali merealisasikan impian yang tertunda. Lalu menyebar rencana itu ke sosmed. Mereka meresponnya dengan baik, namun Najwa yang sampai sekarang bekum memberi kejelasan sama sekali. Entah kini dia di mana. Dihubungi, tak pernah ada balasan.

***

Keesokannya, mereka berkumpul di sekolahan. Seperti biasa di taman rerumputan itu, berkumpul anak-anak saling ngobrol satu sama lain. Ada juga yang mondar-mandir jajan karena uang sakunya masih banyak. Sevy, beserta teman lainnya ingin mengulang masa-masa seperti itu. Namun, rasanya masih sulit diwujudkan. Karena kesibukan masing-masing. Sekedar info, Sevy, Hana, Danil, Najwa dan Reza bukanlah teman sekelas. Pertemanan mereka terjalin begitu saja dengan hangat. Perkenalan mereka dimulai karena satu ekskul kepramukaan.

Beberapa menit menunggu, Najwa tak kunjung datang ke sekolah. Mereka sudah mulai gusar.

“Coba deh, kamu telfon Najwa sekarang.” Hana meminta tolong Sevy untuk menelpon Najwa. Kebetulan, dari mereka berempat Sevylah yang paling punya pulsa berlebih.

Segera Sevy mengiyakan, menghubungi Najwa. Tak ada respon sama sekali. Hanya terdengar suara mbak-mbak seperti ini “Maaf, nomer yang anda hubungi sedang sibuk. Silakan hubungi beberapa saat lagi. Ya sejak tadi kata-kata itu membisiki telinga Sevy

“Tuh kan, nomernya nggak aktif. Aku sms Najwa pun nggak dibales. Aku semakin khawatir sama dia.” Sevy semakin was-was

“Bisa jadi, dia nggak punya pulsa juga kayak kita. Masuk akal kan?” celetuk Danil

“Iya sih, tapi seenggaknya kalo dia memang bisa hadir, dia nggak bakalan telat kayak gini.” Sesal Reza

“Apa mungkin dia sudah kerja sekarang?” tebak Hana

“Kalo sudah kerja, harusnya dia punya pulsa donk.” Sambung Sevy yang mulai emosi.

Mereka semua berunding, mau menjemput Najwa ke rumahnya atau ditinggal saja.

“Bagaimana kalo kita sms adiknya aja, pasti dia tahu kemana Najwa sekarang.”

Dan adiknya Najwa mengabarkan, kalau Najwa sudah kerja sekarang. Jadi kemungkinan besar, Najwa tak bisa hadir juga, karena kesibukkannya. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk langsung menuju ke rumah Sevy.

Mereka naik angkot ke rumah Sevy. Ya, biar seru kata mereka. Apalagi cuaca hari itu cukup panas. Naik angkot adalah satu sarana yang tepat. Di angkot pun, mereka bisa lebih leluasa ngobrol tanpa harus merasakan terik matahari, yang bisa bikin baju ini basah luar dalam. Sedang sepeda mereka terparkir di sekolah.

Selepasnya naik angkot, lantas tak seketika sampai di rumah Sevy. Mereka harus berjalan kaki ke rumah Sevy, yang jaraknya cukup jauh dan bisa membuat langkah kaki ini pegal.

“Masih deket nggak sih rumahnya Sev,?” tanya Hana mengeluh kelelahan “Ah, rasanya kaki ini mau putus aja.”

“Ah Payah kamu, masih beberapa meter jalan aja sudah mengeluh gitu. Bentar lagi nyampek kok. Habis ini belok kanan dan langsung sampai rumahku.” Sevy menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat teman-teman sudah mulai kecapaian.

Ah ini sih belum apa-apa, Sevy membatin.

Rumah berwarna hijau, mulai terlihat. Semilir angin membuat tubuh ini sedikit lega. Sesampainya di rumah Sevy, mereka langsung duduk-duduk di lantai melepas rasa capek, yang kini merajainya. Sambil memijit-mijit kaki, berharap rasa pegel itu sedikit hilang.

Namun, rumah Sevy masih terkunci rapat. Warungnya pun, belum menunjukan adanya aktivitas sama sekali. mereka harus rela di luar menunggu Ibunya Sevy pulang. Biasanya jam 10an seperti ini, dia lagi belanja di pasar.

“Masih lama nggak ibumu belanjanya?” tanya Reza memelas seraya membenarkan poninya yang terobrak-abrik.

“Bentar lagi juga datang. Tunggu aja, yang sabar ya teman-teman …. Hihihi” Sevy meringis, melihat wajah kusut teman-temannya.

Beberapa menit menanti, akhirnya Ibu Sevy datang membawa barang-barang belanjaannya yang akan dijual di warungnya. Dia menyapa dengan senyuman. Hangat dan sangat ramah.

“Pasti sudah nunggu ibu dari tadi ya … maaf ya, pasarnya tadi rame banget. Jadi, agak telat pulangnya.”

“Ouh, nggak apa-apa Bu,” kata mereka saling bersautan.

Tak lupa Hana, Reza, Danil begitu juga Sevy bersalaman dan mencium tangan Ibu Sevy. Tak ingin berlama-lama di luar, Ibu Sevy membukakan pintu dan menyilakan mereka masuk ke dalam.

Mereka sempat melihat-lihat bagian belakang rumah Sevy. Di sana ada kandang sapi, aiiiihhh … bau kotorannya sangat , menyengat di hidung. Membuat mereka tak kuat lama-lama di situ. Tak hanya itu, di kebun itu juga ada pohon jambu air yang masih banyak buahnya. Merah, kembali menggoda lidah ini. Walaupun merah, jambu itu belum matang. Jadi belum bisa dipetik. Padahal mereka ingin segerap melahapnya.

Sevy pun menyuguhkan minuman untuk teman-temannya. Minuman itu sangat khas dan enak dilidah. Manis, dipadukan dengan rasa jahe membuat lidah ini ingin terus merasakannya. Hilang semua rasa dahaga mereka.

“Enak nggak minumannya? Pasti enak donk.. hehehe” tanya Sevy, memuji keenakan minuman itu

“Yups bener banget, enak kok. Enggak lebay deh di lidah.” Sambung Danil

“Minuman ini buatan ibuku lo, makannya enak. Masih ada banyak kok, kalo mau nambah.” Sevy menunjuk ke arah dapur dengan dagunya.

“Ah entarlah, kembung ntar perut ini. Ngomong-ngomong kapan nih kita mulai bikin adonan….” Reza tak sabar tangannya berbalut tepung. 

Mereka mulai mengeluarkan perlatan masak dari tasnya yang mereka bawa dari rumah. Mixer, coklat, wadah dan peralatan lainnya. Sedang bahan-bahan kue sudah disediakan oleh Ibu Sevy.

Bergantian mencampur semua bahan ke wadah. Tepung, gula, coklat, keju kemudian diaduk dan terus tercampur menggunakan mixer. Mereka semua begitu antusias membuat kue ini. Tak ada yang berdiam diri, mereka semua saling membantu dan melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang mengolesi keju ke loyang, memecahkan telur dan mencampurkannya ke wadah bersama bahan-bahan lainnya. Ada yang mengaduk-aduk dengan mixer, ya pekerjaan itu akan terasa ringam jika dilakukan secara bersama-sama.

***

Handphone Sevy berdering. Ada seseorang menelponnya. Dia adalah orang yang sejak kemarin-kemarin tak memberi kabar apapunm bahkan sampai pagi tadi di sekolah. Yupsn, bener banget. Najwa menelponnya, Sevy pun segera mengangkatnya.

“Ini Najwa yang menelpon” dengan suara pelan Sevy memberitahukan kepada teman-temannya. Mereka menatapi Sevy, penasaran apa saja yang akan dikatakan Najwa di telpon itu.

“An, kamu kemana aja sih? Disms nggak bales, ditelpon nggak diangkat. Inbox difacebook pun nggak pernah kamu baca, sebenarnya kamu tuh kenapa sih, nggak ngasih kabar jelas ke kita-kita. Terus kenapa kamu nggak bisa ikut acara kita hari ini. Sebenarnya aku dan temen-temen lainnya kecewa banget kamu nggak bisa ikut” Sevy langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

Hana, Danil dan Reza geleng-geleng mendengar percakapan itu. Tak menyangka Sevy bisa secerewet itu.

“Iya … ya Aku minta maaf sama kamu, juga sama temen lainnya. Dan aku tak bermaksud menghilang, sekarang aku sudah kerja, jadi aku sedikit sibuk tidak seperti hari-hari sebelumnya.”

“Terus sekarang kamu ada di mana? Kenapa baru nelpon sekarang sih?”

Najwa tak langsung menjawab pertanyaan Sevy. Dia terdiam. “E… e…. aku….” Kata Najwa terbata-bata.

“Aku … aku … kenapa sih kamu, tiba-tiba gagu. Ah semakin curiga nih aku …”

“Aku sebenarnya sedang jalan sama pacarku, maaf …..”

“Jadi ….” Sevy mulai kecewa. Sevy pun menutup teipon dengan tangannya dan menyingkirkannya dari telinga

“Najwa sedang jalan sama pacarnya ternyata …” Kata Sevy memberitahukan ke teman-temannya.

Mendengar itu mereka semua kaget. Pekerjaan mereka terhenti seketika. Mereka kecewa karena Najwa lebih mementingkan urusan dengan pacarnya dari pada acara bersama sahabatnya. Seketika itu pula, Hana berdiri dan menghampiri Sevy yang tengah duduk di sofa. Hana meminta hanphone Sevy untuk bicara pada Najwa.

“Halo Naj, kenapa sih kamu nggak ikut acara kita. Kita sudah menunggu kamu di sekolah, terus sekarang kamu mengabarkan kalo kamu sedang jalan sama pacar nggak pentingmu itu.”

“Maaf Han, aku tak bermaksud untuk seperti itu. Maaf, kalo beberapa waktu ini aku menghilang begitu saja tanpa kabar. Maaf kalo aku sudah membuat kalian menunggu lama. Aku tak bisa hadir, karena aku sudah terlanjur ada janji. Jadi maafin aku ya karena nggak bisa hadir kali ini. Mungkin, lain waktu aku akan usahain.”

“Lain waktu kapan? Nanti hari-hari kita sudah akan semakin sibuk. Mungkin nanti, akan ada yang kuliah ke luar kota. Jadi susah buat kumpul-kumpul seperti ini lagi. Tapi kamu menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja. Aku kecewa banget sama kamu.” Emosi Hana semakin membahana.

Tak kuat melihat pertegangan ini. Danil dengan cepat merebut handphone itu dan mendekatkannya ke kupingnya. Sontak membuat Hana terkejut.

“Hai Naj, kita semua memaafkanmu kok. Maafin kami semua ya, yang sudah marah-marah sama kamu. Kami tak bermaksud untuk itu, kami hanya sedikit kecewa.”

“Makasih atas pengertian kalian. Sekali lagi aku minta maaf ya.

***

Adonan sudah selesai dibuat. Lalu dituangkan ke dalam loyang dan siap untuk dioven. Mereka menggunakan oven tradisional. Oven yang ditumpangkan dan dipanaskan di atas kompor. Proses pematangannya sedikit lama dari oven biasa, mereka pun sesekali mengecek, apakah kue sudah bisa diangkat atau masih harus menunggu beberapa menit lagi.

Sambil menunggu kue mateng. Mereka saling bercanda satu sama lain. Ada saja obrolan yang membuat mereka tertawa terbaha-bahak, sampai keluar air mata saking lucunya. Juga menghabiskan makanan atau minuman yang sudah tersuguhkan sejak tadi di meja. Kenyang dan puas. Sepertinya perumpaan ‘tamu adalah raja’ benar-benar terjadi di rumah Sevy. Ibunya sangat memberlakukan mereka dengan sangat baik. Tak sungkan-sungkan membuat makanan yang enak untuk mereka.

Tiba-tiba saja dari arah belakang adik Sevy yang baru bangun tidur berlari ke arah ruang tamu dengan wajah panik dan takut. Sontak membuat Sevy dan kawan-kawan terhenti bercanda.

“Kak… kak .. itu…” kata Adik Sevy panik seraya menunjuk ke arah dapur dengan tangannya.

“Itu itu apa dek? Jangan buat kakak panik gitu deh…”

“Itu kak kompornya kebakaraaan …”

Mereka berlari menuju dapur. Benar apa yang dikatakan si adik, nyala api sangat besar menyala. Reza berusaha menurunkan over ke bawah. Api sudah ditiup berkali-kali, tetap menyala besar. Mereka semakin panik, tak ingin Si Jago Merah menular kemana-mana. Dengan gagah dan berani, Danil datang membawa lap basah. Segera lap itu ditumpangkan di atasnya. Seketika itu kompor pun padam. Mereka pun bersorak bergembira, karena kepanikan mereka bisa terhenti juga. Semuanya mengucapkan terimakasih, Danil bak ‘pahlawan 5 menit’.

Hana mengecek texture kue dengan menusukan lidi kecil. Setelah dirasa sudah matang, akhirnya kue buatan mereka sudah bisa diangkat dan siap disajikan. Baunya sangat menggoda hidung, si lidah sudah tak sabar menyicipinya. Begitu kue itu dipotong, mereka terkejut dengan kue bagian dalam. Kue yang berisikan selai strawberry itu terlihat tak maksimal. Ada beberapa bagian yang terlihat kurang matang. Namun hasil akhir tak begitu mengecewakan. Mereka sangat puas dengan kue buatan mereka sendiri. Dan mereka sangat senang bisa melewati tahapan-tahapan ini sampai selesai. Kue ini layaknya simbol persahabatan mereka. Mungkin hasilnya tak sebagus dengan kue-kue yang terpajang di toko, tapi menghasilkan rasa yang tak akan pernah terlupakan. Begitu juga dengan persahabatan mereka, tak selalu mulus sejalan. Selalu ada konflik di tengah-tengah mereka, tapi mereka selalu menyelesaikannya dengan baik. Dan kue ini menjadi saksi bisu bahwa mereka pernah sama-sama merasakan enaknya persahabatan seperti kue yang dibuatnya.





SELESAI
Sabtu, 09 November 2013

Ibuku Terhebat


Hmm… Ibu, banyak sekali hal-hal yang belum aku lakukan untuk membahagiakanmu, walaupun kau memang tak mengharapkan itu. Banyak sekali yang ingin aku katakana padamu Ibu. Mungkin aku merasa malui untuk mengatakan kepadamu secara langung, untuk itu aku mengungkapkannya lewat tulisan ini. Ibu adalah wanita terhebat dalam hidupku. Wanita yang tak pernah memberiku semangat dan nasehat. Masih ingat di benak ini, waktu dulu pas aku masih Sekolah Dasar, merupakan kenangan paling mengesankan bersama Ibu. Alhamdulillah waktu SD aku selalu mendapat rangking 3 besar setiap akhir semester aku selalu naik panggung untuk menerima hadiah juara. Dan ada salah satu tetanggaku yang iri padaku, selalu saja dia nyinyir padaku. Sampai-sampai Ibuku sempat marah padanya. Tetanggaku itu bilang anakmu pintar itu gara-gara menjadi murid kesayangan gurunya, beda kalo dengan anakku yang selalu dipojokkan gurunya. Ibu sempat dongkol juga karena perlakuan tetangga yang sudah di luar batas kewajaran. Sampai-sampai aku dan ibuku pernah menangis bersama gara-gara perlakuan tetangga itu. Ibu juga selalu memberiku dukungan saat aku mau ikut lomba dulu. Bukan aku namanya kalo aku sudah minder di awal kalo mau ikut lomba apapun. Aku selalu bilang kenapa sih harus aku yang dipilih? Ya karena aku merasa, aku bukanlah yang terbaik. Tapi Ibuku selalu bilang enggak mungkinlah kalo guru memilih kamu karena tidak bias, pasti guru itu milih kamu karena melihat kamu itu bisa dari anak-anak lainnya. Setelah mendapat dukungan dari Ibu rasa minderku perlahan menghilang.
Ibu adalah sandaran bagiku saatku terpuruk dan sedih. Apa-apa selalu yang tahu pertama adalah Ibuku, bukan yang lain. Aku sangat dekat dengan Ibu. Ya Ibu adalah wanita terbaikku. Ibu, terimakasih untuk 18 tahun ini. Engkau telah menjagaku dan merawatku sampai tumbuh besar. Dan maafkan anakmu ini yang belum bisa membalas kebaikan yang selama ini kau berikan dengan tulus untukku, juga kasih sayang yang selalu menentramkanku. Maafkan anakmu ini yang belum bisa membahagiakanmu. Tapi jika memang aku tidak bisa membalasnya, sebisa mungkin aku akan berusaha untuk tidak mengecewanmu.Ibu…. I Love you so much…